Opini

Nikel Nambah Cuan, Alam Nambah Luka: Negara Ini Sungguh Pandai Merusak

Oleh: Ditong

Kalau ada lomba negara paling jago menghancurkan alamnya sendiri, Indonesia jelas masuk final. Bukan cuma karena luas hutannya yang terus menipis atau lautnya yang dipenuhi plastik, tapi juga karena satu hal: nggak pernah kapok jualan sumber daya alam ke yang paling berani bayar.

Kasus terbaru? Silakan lirik Raja Ampat. Surga dunia yang sering masuk video promosi Kemenparekraf. Laut jernih, terumbu karang warna-warni, rumah bagi ribuan spesies. Tapi sekarang, ia diincar buat satu tujuan mulia—katanya: tambang nikel demi masa depan hijau. Halah, masa depan hijau dari logam yang nyaris bikin laut jadi cokelat?

Begitu nikel ditemukan di Pulau Gag, Raja Ampat, pemerintah langsung pasang badan. Seolah-olah ini penemuan emas suci yang bisa menyelamatkan bangsa dari kemiskinan. Padahal, masyarakat adat di sana tidak miskin. Mereka kaya—bukan dalam bentuk uang, tapi dalam bentuk laut yang memberi makan, hutan yang mereka jaga, dan hidup yang selaras dengan alam.

Tapi ya begitulah. Di negeri ini, kalau sesuatu tidak bisa diukur dengan angka rupiah, maka itu dianggap tak berharga. Laut? Hutan? Ekosistem? Nggak penting kalau belum bisa dikapitalisasi.

“Transisi Energi” yang Bunuh Alam

Kita sering dicekoki jargon “transisi energi” seolah ini proyek penyelamatan planet. Mobil listrik, baterai ramah lingkungan, energi bersih. Tapi tunggu dulu. Sebelum semua itu dipamerkan di showroom, ada wilayah yang digerus, hutan ditebang, dan laut disumpal lumpur. Dan sayangnya, daerah-daerah itu jauh dari Jakarta. Maka mudah untuk dilupakan.

Pertanyaan besarnya begini: bisa nggak sih masa depan bersih itu dibangun tanpa harus mengotori masa kini? Jawaban dari pemerintah sejauh ini: nggak bisa. Karena mereka lebih percaya pada angka ekspor daripada suara masyarakat adat.

Dan jangan bilang negara nggak tahu risikonya. Pulau Gag itu masuk kategori pulau kecil. Berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007, pulau kecil dan perairannya seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan konservasi dan keberlanjutan. Tapi lagi-lagi, kalau sudah urusan nikel, undang-undang bisa ditekuk, dibengkokkan, bahkan diabaikan sama sekali. Hebat ya, hukum di negeri ini bisa lentur kayak karet gelang.

Makelar Tanah Air

Kondisi ini bikin kita bertanya-tanya: negara ini berpihak pada siapa, sih? Setiap kali ada konflik tambang, suara rakyat selalu dipinggirkan. Pemerintah lebih sibuk jadi juru bicara perusahaan tambang daripada jadi pelindung lingkungan.

Mereka suka bilang, “Ini sudah sesuai prosedur,” atau “sudah ada AMDAL.” Padahal, kita semua tahu, AMDAL itu bisa dipesan seperti nasi kotak buat acara sosialisasi. Selama ada duit, semua bisa jalan.

Kalau rakyat protes? Dituduh anti-pembangunan. Kalau LSM bersuara? Dicap antek asing. Padahal, yang benar-benar asing itu ya aktivitas tambang yang datang tanpa permisi dan meninggalkan jejak kehancuran.

Ekonomi Dibangun di Atas Lumpur

Yang paling menyakitkan dari semua ini adalah: pembangunan di Indonesia sering kali dibangun di atas lumpur—baik secara harfiah maupun moral. Air laut yang dulu jernih kini keruh. Tanah-tanah adat disulap jadi lahan industri. Warga yang dulu hidup dari alam, kini dipaksa bertahan dari sisa-sisa bencana ekologis.

Kita ini negara kepulauan. Laut adalah identitas, bukan sekadar ruang kosong. Kalau laut rusak, maka rusak pula kehidupan yang bergantung padanya. Tapi bagi elite ekonomi dan pejabat di ibukota, laut cuma tempat lewat kapal tambang.

Ironisnya, semua ini terjadi ketika negara terus berkoar soal pariwisata berkelanjutan dan konservasi laut. Tapi apa artinya konservasi kalau izin tambang bisa menembus kawasan seperti Raja Ampat? Ini bukan sekadar ironi. Ini penghinaan intelektual terhadap rakyat.

Siapa yang Diuntungkan?

Mari kita jujur: siapa sih yang benar-benar untung dari tambang nikel ini? Rakyat? Enggak juga. Mungkin ada CSR, mungkin ada jalan baru, tapi apa itu sebanding dengan laut yang mati dan hak ulayat yang dilindas? Yang untung ya perusahaan besar. Yang pegang saham. Yang main proyek. Yang punya akses ke lobi kekuasaan.

Sementara warga lokal? Disuruh bersyukur. Disuruh beradaptasi. Disuruh ikut arus, meskipun arus itu membawa mereka ke jurang kemiskinan ekologis.

Jangan Diam

Kalau kamu pikir ini cuma urusan orang Papua, kamu salah besar. Ini soal bagaimana negara memperlakukan tanahnya sendiri. Hari ini Raja Ampat. Besok bisa giliran kampungmu. Karena logika tambang itu seperti virus: begitu satu wilayah berhasil dibungkam, maka wilayah lain akan menyusul.

Raja Ampat adalah wajah terakhir dari laut yang masih bisa kita banggakan. Kalau ini pun digadaikan demi logam, maka kita bukan hanya kehilangan pulau, tapi kehilangan arah moral sebagai bangsa.

Jangan tunggu semuanya rusak baru menyesal. Jangan tunggu semua karang mati baru bikin petisi. Sekarang saatnya bersuara. Karena diam dalam situasi seperti ini, artinya kita sedang memberi restu pada kehancuran yang dijual atas nama “pembangunan”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button