Berita IPM Jateng

Mendidik Manusia dengan Mesin

Refleksi atas Profil Lulusan Deep Learning dalam Pendidikan Indonesia

Oleh: Rizki Anugrah Robby

Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik IPM Jawa Tengah

Ketika Mesin Belajar, Apakah Manusia Masih Bermakna?

Di zaman ketika mesin bisa mengenali wajah, menyusun puisi, bahkan menjawab soal matematika lebih cepat dari guru, manusia dihadapkan pada satu pertanyaan mendalam: masihkah pendidikan memanusiakan manusia?

Hari ini, istilah deep learning sering kita dengar dalam ruang teknologi. Tapi dalam dunia pendidikan, istilah ini mulai bergeser menjadi filosofi: pendidikan yang bukan hanya mengajar, tapi menggali kedalaman berpikir, perasaan, dan tindakan manusia. Maka ketika Kementerian Pendidikan, khususnya Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, memperkenalkan konsep profil lulusan deep learning, kita diajak berpikir ulang tentang tujuan akhir dari sistem belajar kita: bukan sekadar nilai, bukan sekadar keterampilan, tapi ketahanan jiwa dan kejernihan budi.

Deep Learning: Bukan Sekadar Canggih

Deep learning dalam pendidikan bukanlah tentang kecanggihan teknologi semata. Ia adalah jalan sunyi menuju pemahaman yang utuh dan mendalam. Bukan hanya menghafal fakta, tetapi mengolah makna. Bukan hanya menyerap teori, tetapi mengaitkannya dengan realitas.
 “Jika kalian ingin menjadi pemimpin besar, menulislah seperti wartawan dan berbicaralah seperti orator.” (HOS Cokroaminoto)

Begitulah deep learning bekerja. Ia mendidik siswa untuk berani mengolah ide, menyampaikan pikiran, dan mengasah kesadaran, bukan hanya mengikuti perintah sistem yang mekanis.

Profil Lulusan Deep Learning: Manusia yang Peka, Kritis, dan Berkeadaban

Apa sebenarnya yang dimaksud dengan profil lulusan deep learning? Bukan manusia yang hafal rumus, tapi yang mampu:

  • Berpikir kritis dan reflektif, mampu menyambungkan satu ilmu dengan ilmu lainnya.
  • Berempati dalam tindakan, menjadikan pengetahuan sebagai alat pengabdian, bukan dominasi.
  • Berinovasi dengan nilai, menjawab tantangan zaman dengan kreativitas yang berpijak pada kemanusiaan.
  • Bertindak kolaboratif, tak lagi belajar sendiri-sendiri, tapi membangun makna bersama.

Dalam pandangan ini, pendidikan bukan pabrik ijazah. Ia adalah taman pertumbuhan akal dan nurani.

Teknologi Harus Menguatkan Akhlak, Bukan Menggantikan Nurani

Prof. Dr. Suhono Harso Supangkat, pakar sistem cerdas dan arsitektur digital Indonesia, pernah menyampaikan bahwa pendidikan teknologi harus berorientasi pada manusia. “Kita tidak sedang menciptakan generasi robot. Kita menciptakan manusia yang mampu bersahabat dengan teknologi tanpa kehilangan jati dirinya.”

Begitu juga menurut Dr. Dedi Dwitagama, praktisi pendidikan dan teknologi, deep learning harus menyentuh sisi emotional intelligence siswa. “Tanpa keterampilan sosial dan empati, siswa hanya akan menjadi mesin berpikir tanpa arah moral.”

Jangan Sampai Profilnya Canggih, Tapi Jiwa Gersang

Namun, semangat ini bisa rapuh jika hanya berhenti di dokumen kebijakan. Jangan sampai kita melahirkan profil lulusan yang canggih secara teknologi, tetapi kering secara spiritual dan sosial. Maka implementasi harus menyentuh hal-hal mendasar.

Mendidik Jiwa, Bukan Sekadar Otak

Kita sedang berada di persimpangan antara manusia yang mendidik teknologi, atau justru teknologi yang mendikte manusia. Maka dalam upaya membentuk profil lulusan deep learning, kita perlu menegaskan: pendidikan bukan sekadar memproduksi kemampuan, tapi memuliakan kehidupan.

Seperti pesan terakhir dari Buya Syafii Maarif:
 “Ilmu yang tidak menambah keteduhan dan kebijaksanaan, hanya akan melahirkan kecanggihan yang menakutkan.”

Semoga pendidikan Indonesia tak hanya melahirkan lulusan yang pintar, tapi juga bijaksana, manusiawi, dan menyala jiwanya.

Saatnya Kita Bertanya, Bukan Hanya Mengajar

Kini, pertanyaannya bukan lagi “siapkah siswa kita menghadapi dunia teknologi?”, tapi lebih dalam:  “Siapkah teknologi membantu siswa menjadi manusia utuh yang berpikir kritis, berempati, dan berjiwa luhur?”

Profil lulusan deep learning harus menjadi pemantik dialog baru antara sekolah, guru, siswa, orang tua, dan pemerintah. Ia harus mengundang keterlibatan aktif seluruh elemen masyarakat. Karena pendidikan sejatinya adalah tanggung jawab bersama untuk merawat akal sehat, menghidupkan hati nurani, dan membentuk peradaban luhur.

Mari kita jaga agar semangat kebijakan ini tak hanya tinggal dalam buku kerja kementerian, tetapi tumbuh nyata di ruang kelas, berdenyut dalam cara guru mengajar, dan berbunga dalam cara siswa berpikir serta bertindak.

Jika mesin bisa belajar lebih cepat, maka manusia harus belajar lebih dalam. Jika teknologi membawa kecepatan, maka pendidikan harus menanamkan kedalaman.
 Karena hanya dengan kedalaman, manusia tetap menjadi manusia—dalam dunia yang makin dikelilingi oleh mesin.

Related Articles

Back to top button