Perkembangan teknologi kecerdasan buatan (AI) telah membawa perubahan besar dalam kehidupan pelajar. Tugas-tugas sekolah, organisasi, bahkan kegiatan keagamaan kini tak jarang dikerjakan dengan bantuan teknologi otomatis. Namun, di balik kemudahan yang ditawarkan, tersembunyi ancaman yang serius: kemunduran cara berpikir dan melemahnya karakter moral. Artikel ini menelaah bagaimana ketergantungan terhadap AI, jika tak disikapi dengan bijak, dapat berujung pada degradasi intelektual dan moral di kalangan pelajar—khususnya kader Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM)—yang seharusnya menjadi garda depan perubahan. Tulisan ini mengajak pelajar untuk kembali menegaskan posisi teknologi sebagai alat bantu, bukan sebagai penentu arah berpikir dan bertindak.
Antara Kecanggihan dan Kecemasan
Pelajar hari ini hidup dalam zaman yang luar biasa canggih. Dalam hitungan detik, AI bisa membuatkan esai, presentasi, bahkan menyusun program kerja organisasi. Sebagai kader IPM, tentu kita tidak bisa menutup mata terhadap peluang ini. Namun pertanyaannya bukan sekadar “bisa atau tidak menggunakan AI,” tetapi “apa yang akan terjadi jika kita terlalu bergantung padanya?”
Teknologi seharusnya memperkuat intelektualitas dan moralitas pelajar. Tapi jika tidak dibarengi dengan sikap kritis dan kesadaran nilai, AI justru bisa membuat pelajar malas berpikir, lemah dalam proses, dan tumpul dalam mengambil keputusan yang adil dan bijak.
AI dan Hilangnya Daya Juang Intelektual
Salah satu ciri utama pelajar IPM adalah semangat fastabiqul khairat—berlomba dalam kebaikan, termasuk dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun, di era AI, semangat ini diuji. Tugas-tugas yang dahulu membutuhkan riset, diskusi, dan pembacaan, kini bisa diselesaikan hanya dengan mengetik perintah pada mesin cerdas. Hal ini mengubah proses belajar menjadi konsumsi informasi instan tanpa proses pengolahan makna.
Ketika pelajar hanya menjadi pengguna pasif teknologi, mereka kehilangan habit of thinking—kebiasaan berpikir mendalam dan reflektif. Seperti disampaikan oleh Nicholas Carr dalam The Shallows (2020), terlalu sering mengandalkan teknologi dapat mengurangi kemampuan otak dalam membangun koneksi yang dalam dan bermakna.
Krisis Moral: Ketika Nilai Diserahkan ke Mesin
Sebagai pelajar Muhammadiyah, kita diajarkan pentingnya adab sebelum ilmu. Namun AI tidak mengenal adab, nilai, atau pertimbangan moral. Ia hanya menghitung data dan statistik. Bayangkan seorang pelajar membuat proposal kegiatan dakwah tanpa menyentuh nilai-nilai ruhani di dalamnya, karena semua diserahkan pada AI. Apa yang tersisa dari ruh keikhlasan, militansi, dan niat untuk berdakwah?
Di sinilah letak krisis moral yang harus diwaspadai. AI bisa meniru gaya bahasa, menyusun pidato tabligh, bahkan mengatur narasi dakwah—namun tidak bisa menggantikan ketulusan, empati, dan tanggung jawab manusia. Ketika pelajar tidak lagi terbiasa berpikir secara etik dan spiritual, nilai-nilai Islam progresif yang menjadi ruh IPM bisa perlahan luntur.
Ketergantungan yang Mengikis Jiwa Kepemimpinan
AI memang membantu, tapi terlalu sering dibantu bisa membuat kita lemah. Dalam organisasi IPM, seorang ketua pimpinan tidak hanya dituntut pintar membuat program, tetapi juga bijak dalam mengambil keputusan, peka terhadap dinamika sosial, dan mampu menjadi teladan moral. AI tidak bisa mengajarkan semua itu.
Kepemimpinan yang sejati tumbuh dari proses belajar, mencoba, salah, dan bangkit kembali. Namun jika pelajar terbiasa “shortcut”—selalu mencari jalan cepat lewat teknologi, mereka akan kehilangan daya tahan dalam menghadapi kompleksitas hidup. Ini bukan hanya persoalan teknis, tapi soal pembentukan jiwa dan karakter.
Menuju Kader Teknologis yang Berakhlak
Lantas, apakah artinya kita harus menolak AI? Tidak. Sebagai pelajar yang hidup di abad 21, kita justru harus melek teknologi. Tapi lebih dari itu, kita harus berdaulat atas teknologi. Artinya, kita harus menguasai AI, bukan dikuasai olehnya.
IPM sebagai gerakan pelajar Islam harus mendorong kadernya menjadi pelajar yang cerdas secara digital, namun tetap teguh secara moral dan intelektual. Menggunakan AI untuk mempercepat proses boleh saja, tetapi tetap melibatkan hati dan akal sehat dalam setiap keputusan adalah keharusan.
Dalam mabadi khaira ummah, ada prinsip ash-shidqu (kejujuran) dan al-amanah (tanggung jawab). Prinsip ini harus menjadi landasan setiap pelajar IPM dalam menggunakan teknologi. Jangan sampai kita menjadi kader yang unggul di atas kertas, tapi rapuh dalam nilai dan karakter.
Saatnya Menata Ulang Relasi dengan Teknologi
Zaman akan terus berubah, dan AI akan semakin canggih. Tapi nilai-nilai dasar sebagai manusia dan kader tidak boleh bergeser. Di tengah kecanggihan teknologi, pelajar IPM harus kembali bertanya: apakah kita masih berpikir? Apakah kita masih berjuang dengan niat? Apakah kita masih tumbuh melalui proses, bukan sekadar hasil instan?
Degradasi moral dan intelektual bukan sekadar isu teknologi, melainkan isu tentang bagaimana kita memahami diri sebagai manusia. Dan dalam konteks IPM, sebagai pelajar yang membawa amanah dakwah, keilmuan, dan kepemimpinan.
Penulis : Fatah





